Di kampung skendi kehidupan tangguh dan tenang jauh dari konflik perkotaan
Di kampung skendi kehidupan tangguh dan tenang jauh dari konflik perkotaan
_Jauh di kaki bukit Kampung Skendi, udara terasa tipis dan langit membentang luas berwarna biru. Rumah rumah bertengger di atas teras-teras batu yang dijalin oleh jalan setapak.
Di tempat ini, kehidupan berdenyut dalam ritme yang ditentukan oleh musim, tanah, dan komunitas. Terjalin perpaduan harmonis antara perjuangan, keindahan dan harapan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Berbeda dengan kota-kota yang ramai dan penuh kepalsuan dunia, di Kampung Skendi originalitas hidup terasa alami, tanpa persaingan dan tanpa pertikaian. Masyarakat mencari penghidupan dengan mengandalkan alam serta kekuatan fisik mereka sendiri.
Rumah-rumah di desa-desa pegunungan Kampung Skendi dibangun untuk bertahan menghadapi lingkungan yang keras. Material lokal seperti batu, kayu, dan semen digunakan untuk menciptakan bangunan yang kokoh dan praktis. Sebagian besar rumah terdpat dapur sederhana, dilengkapi perapian di tengah untuk memasak dan menghangatkan makanan, serta jendela-jendela kecil yang melindungi dari dinginnya angin pegunungan.
Kehidupan kampung dimulai jauh sebelum sebagian besar jalanan kota terbangun. Cahaya lavender pucat merembes dari balik puncak gunung, menebarkan bayangan panjang di ladang jagung dan jelai yang melengkung. Di dalam rumah-rumah batu sederhana, para perempuan bangun lebih awal. Tugas pertama mereka adalah menyalakan api di perapian kecil dan menyiapkan sarapan, sementara anak-anak berkumpul menemani aktivitas ibunya.
Usai sarapan pagi, keluarga-keluarga bersiap menjalani pekerjaan harian. Anak-anak berjalan menuju sekolah setempat, sementara laki-laki dan perempuan berjalan jauh dari rumah untuk berkebun, sementara di tempat lain masyarakat menyusuri sunggai, mencari ikan.
Pertanian menjadi andalan utama mata pencaharian. Menanam bibit dan memanen hasil dilakukan sesuai musim. Bagi masyarakat Kampung Skendi, lahan bukan sekadar latar belakang kehidupan, melainkan guru, tantangan, sekaligus penyedia kehidupan.
Pegunungan mengajarkan kesabaran. Hujan dapat datang dan pergi secara tiba-tiba, sementara terasering menuntut ketelitian dan kerja keras yang tak pernah berhenti. Para petani mengarungi lumpur tanpa alas kaki, dengan tawa yang bercampur kicauan burung, aliran air, dan gemerisik rumpun bambu di sekitarnya.
Menjelang pertengahan pagi, setelah berjam-jam menanam atau menyiangi ladang, keluarga-keluarga berhenti sejenak untuk makan bersama. Cita rasa makanan terasa lebih kaya ketika disantap di luar ruangan, dengan di bawah kaki dan aroma tanah basah di udara. Sarapan sederhana ini menghadirkan kenikmatan yang jarang ditemukan di perkotaan.
Pertanian di Kampung Skendi dijalankan secara komunal. Para tetangga saling membantu selama musim tanam dan panen dalam sebuah tradisi pertukaran tenaga tanpa uang. Masyarakat tidak hanya berbagi beban, tetapi juga berbagi perayaan. Panen yang baik menjadi alasan untuk berpesta dan menari, sementara bendera doa berkibar di puncak-puncak gunung yang terjal.
Di pegunungan Kampung Skendi, budaya terjalin erat dalam kehidupan sehari-hari. Pegunungannya indah, namun juga keras. Musim dingin menusuk tulang, kabut menutup jalur-jalur pendakian, dan kampung berubah menjadi pemandangan yang kontras ketika kebun terasering diselimuti kabut putih.
Namun di sinilah ketahanan jiwa. Musim dingin bukan sekadar perubahan iklim, melainkan ujian ketangguhan, tradisi, dan kekuatan komunal. kabut menghadirkan kesulitan sekaligus keindahan, serta mempererat ikatan antara manusia dan tanah yang mereka huni.
Hidup di pegunungan Kampung Skendi berarti mengenal keindahan luar biasa. Masyarakat menggantungkan hidup pada kemurahan alam yang tak menentu, membentuk kehidupan dengan tangan, hati, dan harapan.
Terima kasih telah pembaca. Itulah ulasan singkat tentang kehidupan pedesaan Kampung Skendi.


Post a Comment