Senja di Kampung Skendi
Judul : Senja di Kampung Skendi
Maya duduk di atas tumpukan batu putih yang memantulkan cahaya lampu petromaks. Malam turun pelan di Kampung Skendi, menutup hari yang panjang dan melelahkan. Tangannya memegang beberapa lembar uang luluh — hasil dari bekerja seharian membantu orang memecah batu.
Ia menatap uang itu lama, bukan karena banyak, tapi karena setiap lembar punya cerita. Setiap keringat yang jatuh di batu kapur itu seperti doa kecil yang ia kirimkan untuk ibunya di kota.
“Biarkan senja mengajarkan kita arti kesabaran,”.
Sebab bagi Maya, keindahan bukan hanya milik laut dan jingga di langit barat. Keindahannya juga bisa lahir dari debu, luka, dan tangan yang tak henti-hentinya berjuang.
Di balik tumpukan batu, suara jangkrik mulai bernyanyi. Maya menarik napas panjang, menatap langit yang tak sepenuhnya gelap. Ada cahaya tipis di ufuk — entah dari bulan, entah dari harapan.
“Semoga setiap doa yang terucap sore ini,” katanya lagi,
“jadi cahaya penuntun langkahku.”
Ia tersenyum sambil menatap uang di tangannya. Malam di Kampung Skendi mungkin keras, tapi hatinya tetap hangat — seperti senja yang tak terlihat, namun selalu ada di dalam dirinya.


Post a Comment