pecah batu di lokasi kampung skendi distrik teminabuan papua barat daya
Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan Kampung Skendi. Embun yang menempel di daun-daun bergerak pelan ketika angin gunung menyapa. Di tengah suasana hening itu, Maya berjalan menyusuri jalan setapak menuju tempat pecah batu. Di pundaknya, ia memanggul sebuah sekop panjang yang sudah menjadi teman kerjanya setiap hari.
Maya mengenakan kemeja denim biru yang mulai pudar warnanya karena sering terkena debu dan matahari. Celana kerjanya penuh noda tanah dan batu kapur, namun ia memakainya tanpa ragu. Baginya, pakaian itu bukan sekadar perlindungan—itu adalah seragam perjuangan.
Sesampainya di lokasi, Maya berhenti sejenak. Di hadapannya, dinding tanah kapur menjulang dengan guratan-guratan bekas galian sebelumnya. Batu-batu berserakan, menunggu untuk dipindahkan atau dipecah menjadi bagian-bagian kecil. Suasana sunyi hanya ditemani suara burung dari hutan sekitar.
“Pagi, Maya!” teriak Aunty Sila dari kejauhan sambil melambaikan tangan.
“Pagi, Aunty!” Maya membalas dengan senyum ringan.
Ia segera memulai pekerjaannya. Sekop itu terayun, mencungkil tanah, menyingkirkan batu-batu kecil, lalu memindahkan pecahan yang lebih besar. Setiap gerakan mengeluarkan bunyi crak dan gesrek, menjadi ritme khas tempat pecah batu itu.
Debu putih menempel di sepatu dan celananya, tapi Maya tetap fokus. Setiap sekop yang ia ayunkan mengingatkannya pada alasan ia bangun setiap pagi: adiknya yang menunggu biaya sekolah, ibunya yang menua, dan mimpinya untuk memperbaiki rumah mereka di Skendi.
Matahari perlahan naik, menghangatkan punggungnya. Saat kebanyakan orang mulai terlihat letih, Maya justru menjaga semangatnya tetap menyala.
“Kalau mau maju, harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri.
Siang hari, suara serangga dari hutan bercampur dengan suara batu yang digerakkan. Maya berhenti sejenak untuk menghapus keringat dari dahinya, lalu kembali bekerja tanpa mengeluh. Kekuatan Maya bukan hanya di lengannya, tetapi juga di dalam hatinya—tekad yang tak mudah patah.
Menjelang sore, ketika cahaya matahari menjadi kuning keemasan, Maya menatap hasil pekerjaannya: tumpukan batu yang telah ia pecahkan dan bersihkan. Tidak besar, tidak banyak, tapi setiap bagian dari tumpukan itu adalah hasil dari ketekunan dan harapan.
Ia menurunkan sekop dari pundaknya dan menghela napas panjang. “Aku sudah berusaha hari ini,” ucapnya pelan.
Sambil berjalan pulang melewati pepohonan hijau di pinggir kampung, Maya merasakan angin sore menerpa wajahnya—sejuk dan menenangkan. Kampung Skendi tampak lebih damai dari biasanya, seolah memberi apresiasi atas kerja kerasnya.
Hari itu mungkin berat. Pekerjaan itu mungkin melelahkan. Namun semangat Maya tidak pernah luntur. Baginya, kerja adalah cara untuk bertahan, untuk mencintai keluarganya, dan untuk membangun masa depan secara perlahan tapi pasti.
Di Kampung Skendi, di tengah tebing tanah kapur dan batu yang keras, seorang perempuan berdiri teguh dengan sekop di pundaknya. Ia bukan hanya memindahkan batu—ia sedang memindahkan hidupnya menuju tempat yang lebih baik.
Dan itulah semangat kerja Maya, yang tidak pernah padam.


Post a Comment