Kisah Pemecah Batu Era Moderen
![]() |
| Judul : Kisah Pemecah Batu Era Moderen |
_ Sejak kecil, saya sudah familiar dengan suara palu dan linggis yang menghantam batu. Setiap kali pulang dari sekolah, saya melihat bapa bekerja memecah batu di tepi bukit, di sela-sela waktunya sebagai guru. Dari beliau saya belajar arti kerja keras — bahwa peluh di dahi adalah bukti cinta pada keluarga.
Dulu, ayah memecah batu secara manual. Tidak ada mesin, hanya tangan, palu, dan linggis. Batu besar dipukul sedikit demi sedikit, sampai menjadi batu kecil yang bisa dijual. Saya sering ikut menonton, kadang membantu mengangkat pecahan batu ke pinggir jalan. Bapa selalu bilang, “Kalau mau hidup, jangan malu kerja. Batu pun bisa jadi berkat kalau kita tekun.”
Kini, setelah ayah tiada (Jauh disana), saya melanjutkan pekerjaan itu — tapi dengan cara yang lebih moderen. Saya menggunakan mesin pemecah batu , agar pekerjaan lebih cepat dan hasil lebih banyak. Sekarang, dalam satu hari saya bisa menghasilkan tiga ret batu . Satu ret batu dihargai sekitar satu juta rupiah .
Artinya, jika sehari saya memecah batu, saya bisa mendapat tiga juta rupiah . Kalau dilakukan rutin setiap hari selama satu bulan, hasilnya mencapai sembilan puluh juta rupiah . Dan jika terus berlanjut selama satu tahun penuh — tiga ratus enam puluh lima hari — maka hasilnya bisa mencapai miliaran rupiah.
Tapi lebih dari sekedar uang, pekerjaan ini adalah warisan semangat dari bapa . Setiap kali palu menghantam batu, saya merasa seperti mendengar suara bapa yang dulu selalu berkata:
“Kerja keras tidak membuat orang miskin, tapi membuat orang dihargai.”
Kini, di Kampung Skendi, suara mesin pemecah batu bukan sekadar tanda pekerjaan — melainkan gema perjuangan yang saya teruskan dari seorang bapa yang mengajarkan arti ketekunan.
#fyp #foto #teks


Post a Comment