Header Ads

test
--

Diam yang Mengajarkan

Diam yang Mengajarkan


Di sebuah kampung kecil di pinggir bukit, hiduplah seorang pemuda bernama Lemas. Banyak orang mengenalnya sebagai anak yang cerdas. Ia senang berbicara, menyampaikan apa saja, dan menjawab setiap hal yang lewat di telinga. Di hadapan banyak orang, ia merasa perlu menunjukkan bahwa ia tahu banyak.

Suatu hari, Kepala Kampung mengadakan pertemuan besar. Semua orang berkumpul untuk membahas pemandangan antara dua keluarga. Situasi tegang. Sebelum siapa pun berbicara, Lemas langsung berdiri dan mulai memberikan pendapat panjang. Ia menjelaskan, menilai, dan menuding, tanpa memahami duduk perkaranya sepenuhnya. Suasana makin panas karena kata-katanya.

Di sudut ruangan, seorang lelaki dewasa bernama Randy duduk dengan tenang. Ia dikenal sebagai orang yang bijaksana di kampung—bukan karena banyak bicara, tetapi karena tahu kapan harus diam.

Ketika Lemas selesai bicara, Randy hanya berkata singkat, “Anak muda, tidak semua hal perlu dijawab. Tidak semua yang kamu lihat perlu kamu ceritakan.”

Ruangan menjadi hening. Semua menunggu.

Dengan suara rendah, Randy melanjutkan, "Kata-kata bisa membangun, tapi juga bisa merusak. Orang yang matang tahu kapan harus menahan lidahnya. Mendengar lebih banyak, bicara lebih sedikit."

Ia memandang Lemas. “Pengetahuanmu baik.Tetapi jika kamu tidak hidup dengan hati yang tenang, itu hanya akan menjadi kesombongan.”

Kedua keluarga yang berselisih kemudian diberi kesempatan berbicara. Setelah mendengar dengan saksama, Randy memberi keputusan adil yang diterima semua pihak. Pertemuan itu berakhir dengan damai.

Dalam perjalanan pulang, Lemas berjalan di samping Randy.

“Ko Randy,” katanya pelan, “saya merasa malu. Saya pikir banyak bicara membuat saya terlihat pintar.”

Randy mengangguk pelan. "Orang bijak tidak mencari pengakuan. Diam bukan tanda ketidaktahuan. Diam di waktu yang tepat adalah kekuatan."

Ia berhenti sejenak. “Amsal bilang: Bahkan orang bodoh, jika ia berdiam diri, akan disangka bijak. Jadi, timbang baik-baik dulu sebelum berbicara.”

Sejak hari itu, Lemas belajar melihat, mendengar, dan menahan diri. Ia tidak lagi sibuk menjadi yang paling banyak bicara. Ia mulai menjadi orang yang lebih mengerti.

Dan di kampung itu, orang-orang melihat perubahan besar. Bukan karena Lemas semakin pandai berbicara, tetapi karena ia akhirnya belajar bijaksana.

“Tuhan Yesus datang,” ujar Randy setiap kali Lamas datang belajar. Kalimat itu selalu mengingatkannya bahwa kebijaksanaan bukan di lidah, tetapi di hati yang mampu mengendalikan diri.

Tidak ada komentar

//]]>