Header Ads

test
--

Aku yang Temani Kamu Punya Susah, Dia yang Nikmati Kamu Punya Kesuksesan

Aku yang Temani Kamu Punya Susah, Dia yang Nikmati Kamu Punya Kesuksesan

Judul : Aku yang Temani Kamu Punya Susah, Dia yang Nikmati Kamu Punya Kesuksesan
Tempat: Yogyakarta, 2010


_Sore itu, langit di atas kota pelajar mendung kelabu. Angin dari utara menggeser awan-awan berat, seolah menyampaikan kabar yang belum sempat terucapkan.

Di bangsal lantai dua Rumah Sakit Bethesda, Nala, seorang mahasiswi asal Papua, terbaring lemah dengan selang infus. Wajahnya pucat, matanya berkabut nyeri. Sudah kali ketiga ia pingsan dalam seminggu. Hari ini, dokter memastikan: usus buntunya harus segera dioperasi.

Nala sedang menyusun skripsi di Universitas Sanata Dharma. Tak ada keluarga yang mendampingi, karena semua berada jauh di kampung halamannya, di papua. Namun, ia tidak sendiri. Di sudut ruangan, duduk Riko seorang pria muda dengan wajah lelah dan mata yang tak tidur semalaman—.

"Sa di sini. Sa tunggu sampai selesai. Ko tenang saja," ucap Riko sambil menggenggam jemari Nala yang dingin.

Riko bukan sekadar pacar. Ia adalah bahu tempat Nala bersandar di tanah rantau, saat tubuhnya lemah dan jiwanya hampir patah. Ia yang bolak-balik mengurus administrasi rumah sakit, membawakan bubur dari warung bawah, dan duduk semalaman demi memastikan detak mesin pemantau jantung tetap stabil.

Waktu operasi tiba, Riko tidak ke mana-mana. Ia menunggu di lorong, menggumamkan doa-doa yang bahkan tidak ia hafal dengan benar.

Nala selamat. Luka operasi perlahan mengering. Namun, kampus tak menunggu. Skripsi harus selesai.

Di tengah rasa sakit yang belum sembuh benar, Nala duduk di depan laptop. Kadang ia menangis karena perih, kadang terdiam karena kehilangan arah. Riko duduk di sampingnya, membaca literatur, merapikan daftar pustaka, bahkan mengetik ulang ketika jemari Nala gemetar.

Ketika hari wisuda tiba, Riko-lah yang membelikan bunga. Ia berdiri di antara para keluarga lain yang datang dari jauh, hanya demi satu foto bersama. Saat nama Nala dipanggil dan ia naik ke podium, Riko bertepuk tangan paling keras. Matanya berkaca-kaca, bukan karena bangga—tetapi karena doa-doanya terkabul. Nala sudah jadi sarjana.

Tapi waktu adalah benda yang licin. Ia mudah tergelincir dari genggaman orang yang paling tulus sekalipun.

Beberapa bulan setelahnya, jarak mulai tercipta. Nala semakin sibuk dengan pekerjaan barunya di Jakarta. Sementara Riko tetap menjadi mahasiswa akhir yang bekerja sambilan di warung kopi Yogyakarta. Percakapan mulai dingin. Tatapan mulai asing.

Dan suatu hari, sebuah undangan pernikahan tiba lewat pesan WhatsApp.

Nala akan menikah. Bukan dengan Riko, tapi dengan seorang pria yang dikenalnya dari tempat kerja baru. Pria itu sopan, mapan, dan punya masa depan yang lebih pasti.

Riko tidak marah. Ia hanya diam.

Di dalam diam itu, ada ribuan kenangan yang tiba-tiba kehilangan tempat pulang. Ia menatap layar ponsel itu lama, sebelum akhirnya membalas singkat:

"Selamat. Sa harap ko bahagia."

Pesan:

Kadang, orang yang menemani kita melewati hujan, bukanlah orang yang duduk di sebelah kita saat pelangi datang.

Dan bagi Riko, cinta bukan soal memiliki—tetapi soal menemani. Meskipun pada akhirnya, ia hanya menjadi catatan kaki dalam cerita sukses orang lain.

#fyp #foto #teks

Tidak ada komentar

//]]>