Header Ads

test
--

Aku Tetap Milikmu

Aku Tetap Milikmu

"Saya akan lunasi biaya operasi suami kamu. Tapi dengan satu syarat,” ucap seorang wanita tua yang masih terlihat cantik itu pada Alana. 

“Apa syaratnya, Ma?” tanya Alana dengan tubuh yang basah kuyup.

Tinggalkan Andra. Dan jangan pernah muncul dalam hidupnya lagi.

Bola mata Alana membeliak. Ia terkejut dengan syarat yang diucapkan oleh ibu mertuanya. Meninggalkan Andra? Bagaimana mungkin.

Andra adalah suaminya. Terlebih saat ini lelaki itu sedang terbaring lemah di rumah sakit.

“Tapi aku tidak bisa melakukan itu, Ma. Aku tidak bisa meninggalkan Andra. Dia suamiku dan dia sangat membutuhkanku saat ini.”

“Andra anakku. Aku bisa merawatnya dengan baik,” tukas Nita cepat. “Dulu aku yang membesarkannya. Tapi setelah dewasa, dia malah jatuh ke dalam jerat perempuan miskin seperti kamu dan memilih pergi dari rumah ini. Sekarang lihat apa yang terjadi pada Andra? Kamu hanya bisa membawanya hidup susah. Kamu membuat Andra menderita. Jadi sebaiknya kamu tinggalkan dia. Biarkan Andra hidup bahagia dengan wanita yang lebih baik dari kamu,” lanjut Nita dengan nada tinggi.

Alana menggeleng. Berpisah dengan Andra? Membayangkannya saja Alana tidak sanggup.

Hujan masih mengguyur dengan deras, Alana hanya dibiarkan berdiri di depan pintu rumah. Sebab Nita tak akan pernah membiarkan Alana menginjakkan kaki di rumahnya yang megah.

“Aku dan Andra saling mencintai, Ma. Tolong jangan berikan syarat seberat ini. Aku berjanji akan berusaha membahagiakan Andra. Tolong jangan minta kami untuk berpisah. Apalagi saat ini aku sedang mengandung cucu Mama,” mohon Alana sambil menangis. Ia mengusap perutnya.

“Andra sudah tahu kamu hamil?” tanya Nita menyelidik.

Alana menggelengkan kepalanya. “Belum, Ma.”

“Bagus. Kalau begitu gugurkan,” cetus Nita tanpa perasaan.

Mata bening Alana membola, ia menggeleng dengan cepat.

“Aku, aku bersedia meninggalkan Andra,” putus Alana pada akhirnya. Nita langsung menyunggingkan senyum kemenangan. “Tapi tolong bantu biayai operasinya, Ma. Dokter bilang Andra harus dioperasi secepatnya,” lanjut Alana.

Sebagai seorang istri, Alana tahu ini pilihan yang berat. Meninggalkan suami yang dicintai dengan keadaan hamil. Tapi apa yang bisa Alana perbuat? Saat ini hidup dan mati Andra bergantung padanya.

*

Di bawah guyuran hujan, Alana melangkahkan kakinya yang berat. Ia baru saja turun dari angkutan umum dan berjalan gontai menuju sebuah rumah kecil yang ia kontrak bersama dengan Andra.

Apa yang dibilang oleh ibu mertuanya memang benar. Alana hanya bisa membuat Andra menderita. Dulu lelaki itu kaya raya dan hidup mewah. Namun demi menikah dengan Alana, Andra rela meninggalkan semua kemewahannya untuk hidup sederhana.

Alana akhirnya menandatangani surat cerai dan pergi. Hanya saja yang tidak diketahuinya adalah betapa sakitnya Andra setelah operasi mengetahui bahwa ditinggalkan oleh istri tercinta.

*

Delapan tahun berlalu…

Alana mengerjap saat merasakan sinar matahari mengusik tidurnya. Perlahan ia membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Ia masih ngantuk.

Bantal dan selimut yang hangat membuatnya merasa nyaman.

Namun Alana terkejut, saat seorang anak kecil tiba-tiba mengagetkannya dengan muncul dari samping tempat tidur.

“Waaa���”

“Aaakhh..” jerit Alana bergerak duduk. “Rehan!” pekik Alana melotot saat tahu jika yang mengejutkannya adalah Rehan, anak laki-lakinya yang sudah berumur tujuh tahun.

Rehan tertawa melihat wajah bantal Alana yang melotot padanya.

“Selamat pagi, Mama!”

Tapi akhirnya Alana luluh juga. Ia tersenyum melihat Rehan melompat ke tempat tidur, lalu memeluknya hangat.

Kini Alana telah kembali ke Jakarta bersama anak-anaknya, namun kini ia harus mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup.Hari ini, atas perkenalan temannya Virny, ia akan mewawancarai seorang sekretaris perusahaan.

Alana berangkat menggunakan kendaraan umum untuk sampai di tempat tepat waktu. Alana sedikit minder saat ia mendapati begitu banyak pelamar yang datang.

"Alana sripuji rahmita!" Alana mengangkat kepala saat mendengar namanya dipanggil.

Sekarang saatnya giliran Alana masuk ke ruang HRD.

"Namamu Alana?" tanya HRD itu yang Alana lihat di papan namanya bertuliskan 'Resti'.

"Iya, namaku Alana."

Resti manggut-manggut sambil melihat-lihat surat lamaran milik Alana sebentar. Alana menahan napas sambil memilin jemari. Ia berharap agar dirinya diterima.

Tak lama, Resti menaikan pandanganya dan menatap Alana kembali. Namun kali ini dengan senyum di bibirnya.

"Selamat, Alana! Kamu yang terpilih untuk menjadi sekretaris di perusahaan ini!"

Alana nampak terkejut dan hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Benarkah? Se-semudah itu? Maaf. Tapi maksudku, aku tidak menyangka anda langsung memutuskan menerimaku sementara di luar sana banyak sekali yang masih menunggu antrian untuk interview," ucap Alana dengan wajah bingung.

Namun ia tak memungkiri jika hatinya saat ini sedang melambung tinggi.

Resti tetap melengkungkan senyum pada Alana. Lalu mengangguk.

Resti mengangguk dan memberikan sebuah berkas pada Alana. Yang mana isinya adalah surat perjanjian kontrak kerja.

Saking terlampau senangnya, Alana sampai lupa jika ia tak membaca lebih teliti dengan isi dari kontrak itu.

Alana langsung membubuhkan tanda tangannya tanpa rasa curiga.

"Sudah," kata Alana menyimpan bolpointnya di atas meja.

Resti tersenyum menutup berkasnya.

"Sekali lagi saya ucapkan selamat padamu, Alana. Selamat bergabung dengan perusahaan ini. Dan, satu lagi. Aku harus memberitahumu sesuatu. Boss kami berpesan, agar sekretars yang terpilih harus menghadap padanya terlebih dahulu. Boss ingin kamu memperkenalkan diri padanya sebelum besok kamu benar-benar bekerja." Resti memberitahukan.

Alana terdiam sebentar sembari mengerutka keningnya. Entah mengapa sekarang Alana merasa seperti ada yang ganjil di sini.

Pertama, penerimaan sekretaris begitu cepat. Lalu, harus memperkenalkan diri di hadapan boss.

"Kamu ikut aku, Alana! Boss sudah menunggu kita di ruang kerjanya," kata Resti lagi.

Tapi Alana tak urung menganggukan kepala.

"Baik." mereka bangkit berdiri, lantas berlalu pergi ke luar dari ruangan itu.

Alana langsung disuguhi wajah-wajah kecewa dari para pelamar lain. Mereka mendesah lemas saat Resti mengatakan kalau Alana lah yang terpilih sebagai sekretaris.

Setelah itu, Resti kembali mengajak Alana untuk pergi ke lantai 20. Di mana ruangan boss nya berada.

Tok! Tok! Tok!

Resti mengangkat tangan kanannya, mengetuk pintu ruangan boss mereka.

"Masuk!" Alana terhenyak mendengar suara baritone yang seperti tak asing di telinganya.

Tapi tangan Resti yang menariknya masuk, membuat pemikiran Alana buyar seketika.

"Maaf, Pak. Saya datang ke sini dengan membawa sekretaris baru yang akan bekerja besok. Sesuai yang bapak perintahkan, saya membawanya ke sini." Resti menuturkan.

Alana menatap pada sosok lelaki yang saat ini sedang duduk membelakanginya. Lelaki itu adalah bossnya. Tetapi posisi kursi yang diputar ke belakang, membuat Alana tak bisa melihat rupa bossnya itu dengan jelas.

"Kerja yang bagus, Resti. Sekarang kamu boleh pergi dan tinggalkan kami berdua saja!" kata lelaki itu masih tetap membelakangi tapi tangan kanannya mengibas di udara. Seolah menyuruh Resti untuk segera meninggalkan ruangannya.

"Baik, Pak." Resti mengangguk patuh dan meletakan berkas kontrak kerja milik Alana di atas meja boss-nya.

Sebelum akhirnya Resti benar-benar berlalu pergi. Menyisakan Alana yang hanya berdua dengan lelaki yang wajahnya belum Alana lihat itu.

"Siapa nama kamu?" tanya lelaki itu.

Alana kembali terhenyak. Suara itu sungguh tidak asing di telinganya.

"Alana, Pak. Namaku Alana."

"Alana Sripuji Rahmita. Begitu 'kan, namamu?" tanya lelaki itu lagi. Kali ini membuat kening Alana berkerut heran.

Bagaimana boss-nya itu bisa tahu nama lengkapnya? Padahal, baik Alana dan Resti. Tidak ada satu pun di antara mereka yang mengatakan nama lengkap Alana.

"Benar, Pak. Itu nama lengkapku."

"Kalau begitu.. Bolehkah aku bertanya sesuatu sama kamu, Alana?" lelaki itu bertanya lagi tanpa membalikan badannya.

"Bertanya tentang apa, Pak?"

"Apakah kamu masih mengenal aku?" akhirnya lelaki itu memutar kursinya. Menatap wajah Alana yang tampak sangat terkejut.

Bahkan mulut Alana sedikit terbuka saking ia tidak menyangka dengan siapa yang ia lihat di hadapannya.

"Andra!" pekik Alana tak percaya. Ternyata lelaki yang sedari tadi membelakanginya adalah Andra.

Pantas saja Alana tak asing saat mendengar suaranya.

Andra tersenyum menyeringai. Lalu menaikan sebelah alisnya pada Alana.

"Wah, ternyata kamu masih ingat namaku," kata Andra pura-pura antusias. "Apa kabar, mantan istri?" lanjut Andra yang bertanya dengan meledek.

Alana masih terkejut. Napasnya tercekat di tenggorokan. Saat ini ia melihat sosok Andra yang terlihat berbeda di hadapannya.

Tatapannya tak lagi selembut dulu.

Tentu saja! Bukankah Alana sudah meninggalkannya! Maka wajar saat Alana kini hanya bisa melihat tatapan benci dan penuh hinaan yang dilayangkan oleh Andra padanya.


Karena ruang tampilan yang terbatas, silakan unduh aplikasinya dan lanjut membaca bab-bab yang lebih menarik. 


Tidak ada komentar

//]]>