Header Ads

test
--

Jeritan air mata dan darah manusia Papua di dalam otonomi khusus


UTBIR.com - Psikologi Lingkungan merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari mengenai perilaku manusia yang berkaitan dengan lingkungan fisik, dan merupakan salah satu cabang ilmu psikologi yang tergolong masih sangat muda. 

Di dalam psikologi lingkungan mengkaji 3 ruang lingkup yaitu Build Environment, Social Environment dan Natural Environment yang berarti bahwa ketiga kajian tersebut mempunyai kaitannya antara satu dengan yang lain dalam membentuk psikologi lingkungan manusia. Dengan adanya Otonomi Khusus di Tanah Papua (Selanjutnya disebutkan West Papua), apakah menolong psikologi lingkungan rakyat West Papua atau justru yang terjadi malah sebaliknya?


Saya akan memulai dengan satu pertanyaan “Apakah Otonomisasi alias Otonomi Khusus NKRI terhadap Papua Barat itu development (mengembangkan; artinya membangun suatu tatanan sesuai dengan tatanan yang sudah ada sebelumnya) atau construction (membangun; artinya menghancurkan suatu tatanan yang sudah ada dan memulai membangun dengan suatu tatanan yang baru)?”


Dalam youtube channel  saya menjelaskan mengenai reaksi yang dilakukan oleh rakyat West Papua terhadap otonomi khusus dengan kalkulasi kepentingan mereka bertahun-tahun silam di West Papua, saya mengkaji dari salah satu buku, yaitu buku Papua Menggugat (Sem Karoba, dkk 2004);

 Dan kini otonomi khusus akan berakhir di 2021 “Apakah kita mau belajar dari sejarah atau mau mengulangi sejarah tersebut?” dalam video itu saya menjelaskan bahwa ada 3 reaksi orang West Papua dikala itu yang merespons tentang diberlakukannya otonomi khusus di West Papua yaitu, ada yang “menerima”, “menolak” dan juga “bingung (kebingungan)”; ternyata di saat ini pun 3 tipikal manusia dengan model seperti itu masih ada dan rupanya mereka ini adalah regenerasi dari 3 tipikal manusia di bertahun-tahun silam itu. 

Dan jika kita kaji dan flashback lagi mengenai adanya otonomi khusus di West Papua, banyak kecacatan dan ketimpangan dalam proses pemberlakuan otonomi khusus di West Papua yang tentunya tidak terlepas dari jeritan air mata dan darah manusia Papua di dalam otonomi khusus ini; lantas dengan coretan-coretan seperti itu, apakah otonomi khusus ini berhasil atau gagal? Dan apa dampaknya terhadap Psikologi Lingkungan rakyat West Papua?


Jika dikaji dari psikologi lingkungan yang berbicara mengenai build environment, social environment dan natual environment maka tentunya tidak terlepas juga dari pemberlakuan otonomi khusus di West Papua yang berpengaruh terhadap psikologi lingkungan manusia West Papua. Mari kita simak apa itu sebenarnya Psikologi Lingkungan dan relevansinya dengan pemberlakuan otonomi khusus di West Papua?


Psikologi Lingkungan merupakan ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik, merupakan salah satu cabang Psikologi yang tergolong masih muda. Paul Bell pada tahun 1970 membuat definisi tentang Psikologi Lingkungan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan interelasi antara perilaku dan lingkungan buatan (Build environment). 

Dalam pengertian tersebut dinyatakan sebagai interelasi antara perilaku dan lingkungan buatan, artinya bahwa dalam hubungan antara manusia dengan lingkungan buatan adalah saling memengaruhi antara satu dengan yang lainnya. 

Tingkah laku manusia dapat dipengaruhi oleh lingkungan buatan dan juga tingkah laku manusia dapat memengaruhi lingkungan buatan (Build environment). Sebagai contoh tingkah laku manusia dipengaruhi oleh lingkungan buatan, adalah bagaimana tingkah laku manusia di rumah mengikuti tata letak ruangan yang telah dibuat oleh pengembang perumahan.

Namun demikian, manusia dapat pula mengubah lingkungan buatan (build environment), yaitu mengatur tata letak perabot rumah agar menjadi nyaman untuk pergerakan dirinya.


Pada tahun 1978, Paul Bell memperbaiki definisi Psikologi Lingkungan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan interelasi antara perilaku dan lingkungan buatan (build environment) dan alam (natural environment). Definisi yang terakhir bertambah dengan lingkungan alam (natural environment). 

Hal ini untuk mempertegas bahwa interelasi yang terjadi pada manusia dengan lingkungan tidak terbatas dengan lingkungan buatan (build environment), tetapi juga terjadi dengan lingkungan alam (natural environment). 

Hal ini dapat terlihat bagaimana tingkah laku manusia berbeda ketika berada di daerah pegunungan dengan daerah pantai untuk melakukan wisata. 

Tingkah laku manusia ketika berada di daerah yang tinggi, seperti gunung, akan mengenakan pakaian tebal untuk menahan hawa dingin. 

Sedangkan pakaian yang digunakan oleh manusia ketika berada di pantai tidak memerlukan pakaian tebal, karena panas. 

Dengan demikian, kedua lingkungan alam (natural envrionment) dan buatan (build environment) menjadi penting, atau disebut pula sebagai lingkungan fisik. Gifford (1987): Psikologi lingkungan sebagai suatu studi dari transaksi diantara individu dengan setting fisiknya. 

Dalam transaksi tersebut individu mengubah lingkungan dan sebaliknya perilaku dan pengalaman individu diubah oleh lingkungan. 

Bagaimana dengan Lingkungan manusia itu sendiri atau yang disebut sebagai lingkungan sosial (social environment)? Apakah lingkungan social menjadi topik kajian psikologi lingkungan? Apakah lingkungan social tidak mempengaruhi perilaku manusia? Sebagai ilustrasi, mari berikan penilaian suasana berikut ini:

“Anda di undang untuk menghadiri sebuah acara perkawinan di sebuah gedung dimana ditempat tersebut anda bertemu dengan banyak orang yang mungkin anda kebanyakan tidak kenal. Satu minggu kemudian di gedung yang sama anda menghadiri undangan reuni SMA anda. 

Bandingkan suasana mana yang lebih menyenangkan. Sudah tentu suasana reuni SMA anda yang lebih menyenangkan, secara fisik gedung nya sama akan tetapi dengan lingkungan social yang berbeda maka perilaku yang muncul juga akan berbeda.”

Zulriska Iskandar (1995) mendefinisikan Psikologi Lingkungan sebagai Ilmu yang mempelajari hubungan interelasi antara tingkah laku manusia dengan lingkungan fisik (buatan dan alam) dan lingkungan alam sebagai lingkungan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainya.


Maka dengan merangkum pendapat beberapa ahli psikologi lingkungan dapat kita peroleh garis besar pengertian psikologi lingkungan, yakni salah satu cabang ilmu psikologi yang mempelajari tentang interrelasi antara perilaku manusia dengan lingkunganya, baik lingkungan fisik yaitu lingkungan buatan (build environment) dan lingkungan alam (natural environment) serta lingkungan social (social environment), sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan.


Sebagai ilmu psikologi yang mempelajari perilaku manusia serta hubunganya dengan lingkungan maka ruang lingkup psikologi lingkungan memiliki fokus perhatian pada manusia, tempat serta pengalaman manusia dalam hubunganya dengan lingkungan Alamiah (Natural Environment). 

Sesuai pada pengertian tentang psikologi Lingkungan maka objek studi lingkungan pada psikologi lingkungan yaitu berupa, lingkungan fisik alam (Natural Environment) lingkungan alami yang terbentuk tanpa campur tangan manusia, lalu liingkungan fisik buatan (Build environment) lingkungan yang dibentuk oleh manusia, dan lingkungan Sosial (Social Environment), adalah tempat dimana masyarakat saling berinteraksi dan melakukan sesuatu secara bersama-sama antar sesama maupun dengan lingkungannya.


Dari penjelasan diatas tentang psikologi lingkungan maka kita dapat menarik relevansinya dengan yang terjadi di West Papua saat bagaimana otonomi khusus diberlakukan hingga saat ini, bahwa benar adanya jika hubungan antara manusia dengan lingkungan adalah sebuah kesatuan dan psikologi lingkungan memandang stimulus-respon dan manusia sebagai sebuah kesatuan yang juga memiliki hubungan timbal balik.

Artinya bahwa lingkungan dapat mempengaruhi tingkah laku manusia ataupun tingkah laku manusia juga dapat mengubah lingkungan, lantas dengan sebuah kesatuan itu apakah kebijakan-kebijakan yang diambil di West Papua saat otonomi khusus ini, apakah justru development (mengembangkan) atau malah construction (membangun) dengan merombak suatu tatanan yang baru dari sebuah kesatuan yang sudah ada sebelumnya? Mari kita lihat apa saja yang telah terjadi saat otonomisasi NKRI terhadap West Papua ini diberlakukan.


Build Environment (Lingkungan Buatan)

Ada banyak yang dibangun entah itu di bagian pendidikan, kesehatan, keamanan (KODIM), instansi/perusahaan-perusahaan asing, dll yang tentu tidak terlepas dari setiap kebijakan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diturunkan ke pemerintah daerah setempat yang konon katanya untuk pembangunan dan pemerataan serta kemajuan West Papua.

Lantas apakah hal tersebut mempengaruhi perilaku manusia Papua? Ya tentu sangat amat mempengaruhi, apalagi kalau itu sebenarnya berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup manusia Papua;

 Masih banyak lingkungan buatan yang dibuat saat masa otonomi khusus ini di West Papua, ada yang mengembangkan (development) 

Tapi ada pula yang sebenarnya membangun ulang (conctruction), mari sebut saja mengenai jalan trans Papua yang dikerjakan, lantas kalau membangun, kenapa gunung-gunung atau bukit-bukit harus digundul sedemikian rupa untuk membuat jalan, apakah tidak ada jalan lain selain merusak sumber daya alam Papua? 

Ataukah memang pemerintah Indonesia memang sengaja ingin merusak dengan alasan pembangunan jalan? atau apakah para planolog Indonesia memang kurang dan minim dalam melihat bagaimana sistem penataan kota dan jalan di West Papua.

 Sehingga natural resources yang harus rusak? cara yang tergolong halus tapi merusak dan mematikan.; apalagi dengan pembangunan kodim di beberapa daerah di West Papua, apakah itu memang yang menjadi kebutuhan manusia West Papua atau justru manusia di dalam kodim ini yang akan menambah beban lingkungan (stress lingkungan) dan stress lingkungan merupakan salah satu dari kesekian perilaku yang muncul akibat hal tersebut bagi manusia West Papua dan contoh lainnya ialah masuknya perusahaan-perusahaan asing di beberapa daerah di West Papua

 Lantas apakah perusahaan-perusahaan itu memberikan pengaruh terhadap rakyat West Papua? Ataukah hanya menghalalkan imperialisme atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat West Papua?


Nature Envrionment (Lingkungan Alamiah)


Akibat dari lingkungan buatan tersebut tidak hanya mempengaruhi tingkah laku atau perilaku rakyat West Papua tapi juga justru mempengaruhi lingkungan alamiah atau sebut saja sumber daya alam Papua, dengan alasan pembangunan jalan.

Maka gunung dan bukit pun dipangkas sedemikian rupa dan tidak hanya itu tapi juga dalam salah satu video dokumenter yang dipublish oleh Al Jazeera English pada tanggal 25 Juni 2020 tentang Selling Out West Papua cukup menjelaskan tentang berapa banyak hutan Papua yang habis akibat masuknya perusahaan asing.

Akibat dari hal tersebut tentu masyarakat setempat sudah tidak memiliki tempat lagi untuk mencari makan dan minum di hutan karena hutan sudah habis dipangkas untuk membangun perusahaan-perusahaan asing. 

Tidak hanya itu banyak kasus yang terjadi di West Papua yaitu ada masyarakat yang menjual hak wilayahnya kepada para pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya yang dimana hal tersebut tidak dibicarakan (tanpa sepengetahuan) masyarakat lain dalam wilayah tersebut sehingga kadang muncul sengketa-sengketa di dalam wilayah yang tanahnya sudah diperjualbelikan terhadap pihak-pihak tertentu dengan kepentingannya.


Social Environment (Lingkungan Sosial)

Akibat dari rusaknya alam tersebut tentu akan mempengaruhi lingkungan sosial rakyat West Papua, apalagi sudah ada sengketa-sengketa internal antara masyarakat Papua sendiri. 

Dan dengan muncul dan datangnya berbagai perusahaan bahkan orang asing dengan kepentingannya masing-masing maka tentu akan mempengaruhi tatanan lingkungan sosial rakyat Papua, menyebabkan kehidupan sosial masyarakat setempat rusak.

Karena akan terjadi perpecahan di dalam seperti yang sudah saya jelaskan diatas. Dan dengan dana otonomi khusus yang ini banyak hal juga yang didatangkan dari luar Papua salah satunya pemasokan minuman beralkohol, PSK, dll;

Sehingga ketika ada masalah dalam keluarga atau terjadi sedikit konflik makan masyarakat setempat akan dengan mudah mencari tempat pelarian (pelampiasan) akan apapun yang diinginkan, akibatnya kehidupan sosial rusak, tidak bisa berpikir, tidak bisa sekolah, tidak bisa bersosialisasi, tidak bisa belajar dan makin lama, makin rusak-punah. Yang memicu masyarakat setempat dengan mudahnya juga menjadi pelaku dari kerusakan itu sendiri.


Sehingga dapat disimpulkan bahwa psikologi lingkungan rakyat West Papua di masa otonomi khusus ini sebenarnya secara perlahan tapi pasti rusak dan juga pada akhirnya tentu memusnahkan manusia Papua (Genosida); tidak hanya dalam hal itu saja West Papua rusak dan punah, disini terdapat 3 point penting yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi di West Papua saat otonomi khusus ini diberlakukan seperti yang dipaparkan dalam buku Papua Menggugat (Sam Karoba, dkk 2004), yaitu penghapusan bahasa daerah, perampasan tanah dan penghancuran budaya. 

Point tersebut yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi di West Papua saat otonomi khusus diberlakukan yang tentu dan tepatnya sangat amat mempengaruhi juga kehidupan rakyat West Papua; mari kita kaji lagi…..

Politik otonomisasi NKRI di West Papua yang sebenarnya merupakan cara kerja penjajah dengan retorika dan manipulasinya.


Penghapusan bahasa daerah


Bahasa menunjukkan Bangsa (Siapa Anda): sejarah mencatat bahwa kalau seseorang dijajah sampai ribuan tahun sekalipun, bila bahasanya masih ada dan dipakai dalam sebuah wilayah jajahan itu maka bahasa itu sangat potensial untuk membantu kaum terjajah mengidentifikasikan diri secara mudah sekali untuk mengatakan bahwa: “Kami Tidak Sama Dengan Kaum Penjajah!”  lebih dari itu bahasa juga adalah kekuatan (Language is power); coba lihat di West Papua, kalau kita berbahasa daerah akan dilihat dan kadang ditertawakan sebagai orang yang ketinggalan jaman. 

Orang yang berbahasa daerah di West Papua sering dianggap sebagai orang yang belum maju. Bahasa yang digunakan di sekolah, media massa, kantor-kantor, jalan-jalan, pasar, nama-nama jalan, dan lain sebagainya tidak menggunakan bahasa daerah Papua. Yang ada semuanya berbahasa Indonesia, akibatnya tentu kita bisa bayangkan sendiri. 

Bayangkan saja apa yang akan terjadi kalau otsus terus ada. Akankah orang Papua masih punya kuasa dan jatidiri sebagai orang Papua?


Perampasan tanah


Tanah menunjukkan wilayah sebuah bangsa (dimana anda ada), tempat kita berpijak. West Papua bilang tanah adalah mama! lantas bagaimana kalau mama kita dirampas? tanah kita dirampas? kita semua berasal dari tanah, hidup di atas tanah, dan dari tanah dan matipun kembali kepada tanah. 

Kita sudah tahu bersama bahwa orang-orang di Indonesia sudah tidak punya tanah lagi, jadi kalau ada orang yang kehilangan hak atas tanahnya, orang itu sebenarnya tidak menjadi manusia penuh lagi, karena dia hidup tergantung kepada orang lain, yaitu tuan di atas tanah orang lain (lords/tuan); dan tentu kita semua tahu bersama kalau syarat mendirikan sebuah negara adalah bahwa bangsa itu punya batas wilayah (tanah) yang jelas. 

Tanah di Papua sudah dijual dan dipenuhi dengan orang pendatang dan orang Papua tinggal dipinggiran kota bahkan ada yang tanahnya dijual lalu orang pendatang jadikan kos-kosan atau kontarakan, malah pemilik awalnya yang datang kos atau kontrak di tanah yang awal adalah miliknya juga ada orang Papua yang merana dan terkatung-katung hidupnya, ada yang datang dengan alasan pembangunan lalu investasi besar-besaran terjadi, tanah digaruk habis sampai rusak. Bayangkan saja apa yang akan terjadi kalau otsus terus ada!


Penghancuran budaya


Budaya menunjukkan jati diri (cara dan pabndangan hidup anda), setelah menguasai tanah dan menghapuskan bahasa, maka harus ada usaha terusan, yaitu menghapuskan budaya. 

Karena kalau kita punya budaya, maka nantinya dengan jelas kita bisa melihat diri berbeda dengan Indonesia dan kita bisa “Melawan”. Kalau bahasa menunjukkan bangsa, maka budaya adalah akar dari bahasa, yang menimbulkan adanya bahasa dan yang membedakan satu dengan yang lain dan yang memupuk perkembangan bahasa itu. 

Lantas kalau dipertanyakan lagi, bahwa setiap tahun ada festival seperti FBLB (festival budaya lembah baliem), FDS (festival danau sentani), dll tapi kenapa makin tahun kebudayaan orang Papua makin hilang dan dimodernisasikan? Bayangkan saja apa yang akan terjadi kalau otsus terus ada!


Kesimpulannya bahwa memang sebenarnya trilogi otonomi khusus dan trilogi sebuah penjajahan sama saja, tetapi sengaja dipisahkan untuk memperjelas apa yang sebenarnya terjadi dalam otonomi khusus dan apa yang terjadi dalam penjajahan sehingga kita bisa melihat kalau otonomi khusus dan penjajahan sebenarnya sama, yangberbeda cuma namanya saja. Dan kalau memang otonomi ini khusus untuk West Papua, apanya yang “Khusus”?


Referensi:

Bell, Paul A,(a.o.) (1984),Environmental Psychology, London: W.B.Sounder Helmi, A.F (1999), Beberapa Teori Psikologi Lingkungan, Buletin Psikologi, tahun VII(2), Fakultas Psikologi, UGM

Iskandar, Z. (2012) Psikologi Lingkungan: Teori dan Konsep. Bandung; Refika Aditama Iskandar, Z. (2013) Psikologi Lingkungan: Metode dan Aplikasi. Bandung; Refika Aditama

Papua Menggugat, Bagian Satu: Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat!, Sem Karoba, dkk. WatchPapua, Juli 20014

Sumber tulisan:laolao-papua.com

Nonton juga: